Category Archives: Gagasan

25Sep/17

Beberapa Catatan Menyongsong Pilkada 2018

Oleh Luthfi A. Mutty*

Tahun 2018 akan dilaksanakan pilkada serentak gelombang ketiga di 171 daerah. Ini merupakan rangkaian proses menuju pilkada serentak nasional yang rencananya akan digelar pada tahun 2024.  Kita bisa melihat para kandidat  di daerah yang akan melakukan pilkada telah sibuk melakukan sosialisasi agar dikenal oleh masyarakat. Partai politik juga telah membuka pendaftaran calon kepala daerah. Dalam hal ini setiap partai politik memiliki cara sendiri bagaimana mengeluarkan surat keputusan untuk mengusung calon yang akan maju ke kontestasi pilkada.

Landasan pelaksanaan pilkada serentak berdasarkan pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. UU tersebut merupakan revisi atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU No. 1 Tahun 2014. Pilkada serentak merupakan reformasi sistem pilkada yang sebelumnya dilaksanakan sesuai dengan berakhirnya masa jabatan  kepala daerah. Pelaksanaan pilkada serentak merupakan usaha untuk mengakhiri ritual politik yang berlangsung sepanjang tahun. Karena setiap dua atau tiga hari sekali ada daerah yang melaksanakan pilkada. Namun yang lebih penting lagi, pilkada serentak diharapkan menjadi solusi atas ongkos demokrasi berbiaya tinggi dari APBN dan APBD.

Hakikat dari proses pilkada merupakan upaya mencari pemimpin, yaitu kepala daerah yang memiliki kemampuan membangun dan memajukan. Bisa memaksimalkan sumber daya daerah demi kesejahteraan. Kepala daerah juga diharuskan mampu membenahi dan menggerakkan birokrasi agar lebih profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Kepala daerah dituntut bisa membaca potensi daerah secara komprehensif, selain itu diperlukan keberanian untuk melakukan inovasi. Sebab menjadi kepala daerah tidak cukup menjadi orang baik, tetapi juga harus mampu melakukan perubahan nyata di tengah masyarakat.

Dalam hal pencalonan kepala daerah, partai politik cenderung mengusung calon yang kemungkinan menangnya lebih besar. Bahwa ada partai politik melakukan fit and proper test sebagai cara untuk mengetahui kemampuan kandidat, itu betul. Namun ada indikator lain yang dipergunakan oleh partai politik. Sebagai mesin elektoral partai biasanya melihat pada tiga faktor. Pertama tingkat elektabilitas yang diukur melalui pendekatan ilmiah survei. Kedua jaringan pendukung selain mesin partai politik. Ketiga kemampuan finansial dibutuhkan untuk membuat program kampanye yang dapat menjangkau pemilih. Tiga faktor di atas merupakan konsekuensi dari demokrasi terbuka yang kita anut.

 Biaya Mahal Pilkada

Pilkada serentak gelombang ketiga akan dilakasanakan pada Juni 2018, di 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota. Pelaksanaan ini diperkirakan akan menelan biaya sebesar 11,3 triliun Rupiah. Pilkada serentak gelombang kedua di 101 daerah memakan biaya sebesar Rp 7 triliun. Ini jauh melampaui anggaran pilkada gelombang pertama yang menghabiskan dana sekitar 4,4 triliun Rupiah dengan jumlah pilkada sebanyak 269 daerah.

Menurut KPU, membengkaknya anggaran pilkada serentak gelombang ketiga, karena  daerah-daerah yang melaksanakan pilkada serentak padat pemilih dengan wilayah luas. Di antaranya Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua.  Apapun alasannya, anggaran pilkada yang terus membengkak patut dipertanyakan. Sebab efisiensi biaya yang menjadi alasan pilkada serentak jelas tidak tercapai.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah sistem penganggarannya. Persoalan pendanaan pilkada serentak sudah muncul sejak persiapan. Ada dua pendanaan yang akan menentukan hasil pilkada dan pemerintahan selanjutnya. Pertama, pendanaan yang disiapkan oleh Negara dalam hal ini berasal dari APBD dan APBN yang dipergunakan oleh KPU dan Bawaslu. Kedua pendanaan kandidat untuk kampanye memenangkan kontestasi pilkada.

Regulasi yang mengatur pendanaan dari negara selalu berubah. Ini terlihat dari UU No. 8 Tahun 2015 menghendaki pendanaannya dibebankan pada APBD dan didukung APBN. Di lain pihak, UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, menetapkan bahwa pendanaan pilkada sepenuhnya dibebankan pada APBD. Namun lewat Perppu No.1 Tahun 2014, biaya pilkada yang sebelumnya ditanggung sepenuhnya oleh APBD diubah menjadi dibebankan pada APBN dan dapat didukung melalui APBD.

Mengacu pada ketentuan dimaksud maka Permendagri No. 37 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2015. Daerah diimbau untuk mengalokasikan anggaran kegiatan pilkada tahun 2015 dengan menempatkannya dalam pos belanja hibah. Masalah yang muncul terkait dengan ketentuan di atas adalah terdapat dua mekanisme penganggaran. Tahap perencanaan anggaran hingga terbitnya SP2D (transfer dana dari kas daerah ke rekening KPUD/Bawaslu Prov/Panwas) menggunakan mekanisme APBD. Sedangkan perencanaan penggunaan dana hibah oleh KPU/Bawaslu Prov/Panwas hingga ke pertanggungjawabannya menggunakan mekanisme APBN. Ketentuan yang sama berlaku juga pada pilkada serentak 2017 yang lalu dan pilkada  2018 yang akan datang.

Khusus untuk penggunaan dana hibah pilkada 2018, terdapat perbedaan antara Permendagri No. 51 Tahun 2016 dengan PKPU No. 80 dan 81 Tahun 2017. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus, karena berpotensi menimbulkan persoalan hukum. Di dalam Permendagri tersebut, pokja perencanaan kegiatan ditentukan paling banyak 10 orang dengan masa kerja paling banyak 3 bulan. Sementara dalam PKPU disebutkan jumlah anggota pokja paling banyak 14 orang dengan masa kerja paling lama 11 bulan.

Selain perubahan dan tumpang tindih regulasi, terdapat juga persoalan komponen pembiayaan yang menyerap anggaran cukup besar yaitu, biaya pengamanan. Anggaran pengamanan dari APBD jelas menyalahi asas dan prinsip pemerintahan, yakni pemda tidak dibenarkan membiayai instansi vertikal. Selain itu, penyediaan anggaran pengamanan telah menempatkan pilkada sebagai extra ordinary activity; sebuah “proyek” yang perlu biaya khusus. Padahal, pilkada dapat dilihat dan ditempatkan sebagai kegiatan rutin, sehingga tidak perlu disediakan dana ekstra untuk pelaksanaannya. Sebab masing-masing kementerian/lembaga telah mandapat anggaran dari Negara.

Sementara itu pendanaan dari kandidat sudah dimulai sebelum masa kampanye. Kita bisa melihat bagaimana setiap kandidat yang ingin maju pilkada telah melakukan sosialisasi jauh-jauh hari. Selanjutnya para kandidat akan menyiapkan biaya untuk “mahar” kepada partai politik agar mendapatkan dukungan. Mahar politik ini menjadi rahasia umum yang sulit dibuktikan tetapi nyata. Soal Mahar politik ini, setahu saya hanya partai NasDem yang dengan tegas dan terbuka melakukan penolakan. Jika kandidat maju menjadi calon independen, maka dibutuhkan dana operasional untuk mengumpulkan KTP sebagai syarat dukungan. Berikutnya para kandidat akan mengeluarkan dana besar pada masa kampanye. Kebutuhan ini untuk menggerakkan sumber daya baik itu partai ataupun jaringan pendukung lainnya.

Kecurangan dan Output

Tantangan besar saat pelaksanaan pilkada adalah kecurangan. Jenis dan Faktor kecurangan hampir sama pada setiap penyelenggaraan pilkada. Misalnya masalah DPT, mark-up atau penggelembungan jumlah pemilih sering terjadi. Hal ini disebabkan lemahnya akurasi data yang dimiliki oleh lembaga atau instasi terkait. Maka itu pertambahan DPT yang tidak normal di suatu daerah patut dicurigai dan menjadi perhatian agar tidak terjadi kecurangan.

Modus kecurangan lain yang juga selalu berulang adalah pemanfaatan formulir C6 yang tidak disebar. Ini  menyebabkan munculnya ghost voters  dan identitas ganda.  Akhir-akhir ini yang sangat meresahkan terjadinya black campaign terhadap kandidat dengan memanfaatkan isu SARA. Mengintimidasi atau melakukan teror terhadap pemilih dengan menggunakan fisik dan psikis. Terakhir adalah politik uang untuk memastikan kemenangan. Semua jenis kecurangan ini bisa merusak tananan sosial dan demokrasi kita yang sedang dalam proses pendewasaan.

Bagi petahana yang kembali maju, pemanfaatan ASN sangat efektif untuk memobilisasi dukungan. Hubungan petahana dan ASN merupakan simbiosis mutualis, sebab hasil pertama dari pilkada adalah balas jasa dan penyusunan komposisi SKPD. Tidak mengherankan jika banyak organisasi perangkat daerah (OPD) dipimpin oleh orang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan lembaga yang dipimpinnya. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang dibentuk untuk mengawasi promosi dan mutasi pejabat bagai macan ompong. Banyak keputusan kepala daerah yang dibatalkan oleh PTUN terkait dengan tindakan dalam penempatan pejabat, walau hanya dianggap angin lalu. Hal ini kemudian berpengaruh buruk terhadap rendahnya indeks kualitas pelayanan publik kita.

Banyak kepala daerah terpilih hanya yang berperan sekadar pelaksana APBD seraya mengintip peluang untuk melakukan korupsi.  Tidak heran jika banyak kepala daerah yang terlibat korupsi dan masuk penjara.  Selama periode 2003-2016 tercatat 18 gubernur dan 343 bupati/walikota (61% dari 514 kepala daerah) terjaring kasus korupsi. Para kepala daerah yang terpilih dengan biaya besar APBN dan APBD seharusnya hadir sebagai pemberi solusi atas berbagai permasalahan daerah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sebagian besar di antaranya malah menjadi malapetaka buat daerah dan warganya.

 *Penulis adalah anggota Komisi II DPR RI Fraksi NasDem

 

15Sep/17

Akankah Korporasi Dipidana?

Oleh  Dedy Ramanta, SH

Bila dicermati berbagai kasus mega korupsi yang yang muncul dipermukaan, selalu pihak yang dinyatakan bersalah adalah para subyek hukum orang (naturalijke persoon) baik itu para direktur, para broker proyek, ataupun para pelaksana atau pegawai yang diminta untuk melakukan lobi maupun yang menyerahkan uang suap. Padahal perdebatan hukum bahwa korporasi sebagai subyek hukum atau bukan sudah selesai. Setidaknya terdapat 96  Undang-Undang didalamnya terkandung kebijakan formulasi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia yang diatur dan tersebar dalam berbagai Undang-undang khusus baik yang sudah terkodifikasi maupun yang belum terkodifikasi (Kristian, 2016).

Meskipun korporasi sudah ditetapkan sebagai subyek hukum, nyatanya sampai dengan sekarang  hanya terdapat satu putusan pengadilan yang menghukum korporasi sebagai subyek hukum. PT Giri dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Banjarmasin No.04/PID.SUS/2011/PT.BJM tanggal 10 Agustus 2011. Majelis banding yang diketuai Mas’ud Halim menganggap PT Giri bersalah melakukan korupsi sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal18 jo Pasal 20 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam perkara korupsi terkait dengan bidang lingkungan hidup, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi terdapat beberapa putusan yang sudah inkracht. Setidaknya ada tujuh perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan dan lahan, yakni PT RPP di Sumatra Selatan (Sumsel), PT BMH di Sumsel, PT RPS di Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan Tengah (Kalteng), PT MBA di Kalteng, dan PT ASP di Kalteng. Namun sampai sekarang belum diajukan korporasinya sebagai tersangka.

Kejahatan Korporasi

Sebagi subyek hukum, keberadaan korporasi perlu mendapatkan perhatian. Satu sisi keberadaan korporasi memberikan dampak ekonomi positif seperti penyediaan lapangan kerja, menyumbang pertumbuhan ekonomi. Namun disi lain juga memberikan dampak negatif yang kemudian dikenal dengan nama kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi yang sering muncul dalam berbagai studi seperti suap, klaim palsu, penggelapan, perdagangan informasi, pelanggaran hukum lingkungan, pelanggaran undang-undang upah, pelanggaran undang-undang pajak penjualan, pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan, kecurangan dibidang kredit, pencucian uang, penyelundupan dan yang lainnya.

Sehingga kejahatan korporasi dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime), kejahatan lintas batas negara, kejahatan terorganisir, kejahatan terstruktur, kejahatan bisnis, serta kejahatan kemanusiaan.

Dijelaskan oleh Ronkramer bahwa kejahatan korporasi adalah perilaku ilegal dan atau perilaku yang menimbulkan kerugian sosial yang dihasilkan dari pengambilan keputusan yang disengaja oleh eksekutif perusahaan sesuai dengan tujuan operasi organisasi mereka. Serta dijalankan oleh para eksekutif yang mempunyai pengetahuan dan sumberdaya serta jaringan yang luas. Sehingga dampak yang ditimbulkan pasti skalanya luas sesuai dengan operasi yang dijalankan oleh korporasi tersebut.

Menantikan korporasi dipidana

Dalam perkara dugaan korupsi E-KTP yang merugikan negara sekitar 2,3 trilyun yang diduga melibatkan berbagai pejabat tinggi negara serta beberapa korporasi. Setidaknya ada 5 korporasi dan 1 konsorsium yang sudah mengembalikan uang kepada KPK sebesar 220 Milyar dalam perkara korupsi E-KTP.

Peristiwa dugaan mega korupsi E-KTP dipastikan melibatkan korporasi. Sebagai pelaksana proyek, korporasi besar kemungkinan bertindak aktif melancarkan berbagai lobi kepada para pengurus negara untuk mendapatkan proyek jumbo tersebut.

Hukum materiil pertanggungjawaban korporasi dalam berbagai UU sebenarnya sudah jelas dan lengkap. Hanya saja, praktiknya aparat penegak hukum kesulitan merumuskan materi surat dakwaan karena KUHAP tidak mengenal subjek hukum  rechtspersoon  (badan hukum), tetapi hanya mengenal natuurlijkpersoon (orang pribadi).

Mahkamah Agung telah merespon kekosongan hukum terkait dengan hukum acara tindak pidana korporasi dengan menerbitkan PERMA Nomor 13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi penegak hukum untuk tidak menyeret  korporasi dalam perkara suap-menyuap ke pengadilan.

Tantangan bagi penegak hukum adalah memisahkan tindak pidana yang dilakukan oleh para pengurus korporasi tersebut hanya menguntungkan dirinya sendiri atau menguntungkan korporasi (bahkan mungkin tindakan bisnis yang direncanakan).

Tentu saja dalam hal ini, negara tidak boleh kalah melawan praktek-praktek kotor koporasi yang dalam menjalankan bisnisnya disertai dengan berbagai operasi bisnis yang melanggar hukum dan merugikan publik. Tentu saja dalam mengungkap keterlibatan korporasi dalam perkara korupsi E-KTP bukanlah hal yang mudah. Jejaring kekuasaan dan bisnis yang bersimbiosis dalam praktek rente akan menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum khususnya KPK.

* Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) DPP Partai NasDem

12Sep/17

Memerangi Hoaks

Oleh Ahmad Sahroni*

SEKALI lagi kinerja Polri memukau dengan keberhasilan membongkar produsen sekaligus penyebar berita bohong (hoaks) bernama Saracen. Sindikat itu disebut memiliki 800 ribu akun untuk melancarkan aksi. Konon, operasi mereka berlangsung sejak 2014. Ajang Pilpres 2014 ialah medan area pertama mereka. Polri mengatakan sindikat Saracen ini memproduksi hoaks untuk membentuk opini agar masyarakat benci terhadap pemerintah, khususnya pemerintahan Jokowi saat ini.

Tidak mengherankan jika di Pilpres 2014 berbagai fitnah berembus menerpa Jokowi. Tidak berhenti di situ, ajang pilkada serentak juga menjadi lahan mereka mencari keuntungan. Yang penting dari terungkapnya kasus ini ialah fakta bahwa kebohongan telah menjadi ladang bisnis. Betapa mencengangkannya, ada kelompok manusia yang bekerja secara profesional menciptakan dan menyebarkan kebohongan. Entah nalar seperti apa yang mendasarinya sehingga dusta menjadi sumber penghidupan.

Kejahatan luar biasa
Menurut penulis, perbuatan semacam yang dilakukan Saracen merupakan kejahatan luar biasa yang bisa mengakibatkan rusaknya nalar publik. Apalagi itu dilakukan terorganisasi. Sebuah riset ilmiah menyebutkan bahwa hoaks akan merusak fungsi otak manusia. Mereka yang gemar menyebarkan hoaks, fungsi amygdala-(pengatur emosi)-nya akan melemah. Saat sebuah hoaks disebar dan membuat emosi publik naik maka emosi yang timbul menutupi nalar sehat mereka.

Emosi yang meluap akan menghambat kerja lobus frontalis (semacam CPU dalam nalar kita). Tidak mengherankan jika mereka yang gemar pada hoaks begitu mudah percaya pada sensasi dan tersulut emosinya. Alhasil, bukan hanya narkoba atau pornografi yang berbahaya bagi masa depan anak bangsa ini. Hoaks juga menjadi ancaman serius bagi peradaban bangsa ini ke depan. Pra dan pasca-Pemilu 2014, media sosial memang sudah dipenuhi fenomena hoaks dan fitnah. Akan tetapi, siapa menyangka bahwa sampah dan fitnah itu terorganisasi dan bahkan menjadi industri.

Kelompok pembuat dan penyebar hoaks itu memanfaatkan ruang besar dunia virtual di Tanah Air. Pada 2016, ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Dari jumlah itu, setiap orang minimal mengakses internet 2 jam per hari. Alasan kebebasan berekspresi dan berpendapat di era demokrasi tentu tidak dapat diterima. Kabar palsu bukanlah ekpresi kebebasan berpendapat. Berita dusta justru mencederai kebebasan berekspresi. Ia telah menjadi benalu yang menggerogoti makna kemerdekaan berpendapat.

Dalam demokrasi, kebebasan haruslah tetap berlandaskan ketaatan pada hukum dan menjunjung nilai kehidupan setara antarwarga negara. Tanpa hukum, demokrasi akan bertransformasi enjadi ruang banal dan brutal. Dalam ruang semacam itu, kehidupan antarkelompok yang berbeda akan saling menjatuhkan dengan segala cara.

Lebih parah
Abad ke-21 memang telah membuka cakrawala baru dunia dengan apa yang bisa kita sebut sebagai abad mikroelektronik. Hal itu ditandai dengan lahirnya cara pandang dan kesadaran baru bahwa ada kenyataan virtual yang memengaruhi bahkan mendominasi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Orang-orang saling terhubung dan semua menjadi subjek yang bisa memproduksi wacana dan opini. Orang-orang dengan mudah bertukar informasi. Kecanggihan teknologi informasi membuat kerja sindikat hoaks ini menjadi lebih mudah.

Mengutip James Brook dan A Boal dalam Resisting The Virtual Life (1995), teknologi virtual bersifat merusak tatkala hubungan dalam simulakra (realitas semu) mengambil alih interaksi tatap muka yang justru lebih kaya. Memang, dunia virtual dengan media sosialnya bisa menggantikan pertemuan tatap muka. Interaksi antarindividu dan kelompok di media sosial seolah mewakili pertemuan fisik. Namun, pertemuan semacam itu sesungguhnya semu belaka. Kenyataan inilah yang membuat media sosial menjadi alat yang sangat efektif dalam menggalang dan menciptakan opini.

Pengguna internet di Indonesia dengan tingkat literasi yang rendah merupakan target empuk penyebar hoaks. Warga menjadi mangsa dari proses sistematis untuk menerima segala pesan dan kepentingan politik yang berlindung di balik kebebasan berekspresi. Kejahatan para penyebar hoaks bahkan bisa disebut lebih parah daripada pengedar narkoba. Hoaks telah menggiring dan mengubah cara pandang warga terhadap realitas yang ada.

Lebih jauh dari itu, hoaks merusak perangkat lunak manusia bernama logika, etika, estetika, dan hukum di ruang publik. \Kelompok seperti Saracen memanfaatkan perbedaan sebagai amunisinya. Kita dapat melihat secara nyata bagaimana hoaks yang disebar cenderung menggunakan isu SARA. Lalu secara berkesinambungan dilanjutkan melakukan provokasi, kebohongan, dan fitnah untuk memperbesar kebencian. Kenyataan ini bukan hanya melawan hukum, melainkan juga merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tidak bisa membiarkan api dalam sekam ini merusak keindonesiaan yang dibangun di atas fondasi kebinekaan. Bayangkan jika sebagian besar warga tidak mampu memilah informasi dan begitu saja percaya dengan hoaks, bagaimana masa depan bangsa dan negara ini.

Akselerasi aksi
Oleh karena itu, dukungan terhadap kinerja penegak hukum dalam mencegah dan menindak para perusak itu patut kita lipat gandakan. Penegak hukum tidak boleh bekerja sendiri sebab hal itu akan dijadikan alasan bahwa negara dipandang otoriter dan melanggar kebebasan bereskpresi. Sebagai warga, kita harus bersama menyatakan perang terhadap hoaks. Hal itu untuk menyelamatkan nalar, tatanan sosial, aturan hukum, dan demokrasi. Setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah dan kelompok warga. Pertama, pendekatan kultural; kedua, penegakan dan penguatan hukum secara ketat.

Pendekatan kultural bisa dilakukan dengan membuat gerakan perangi hoaks yang dibarengi peningkatan literasi digital. Literasi adalah kemampuan seseorang dalam memahami sebuah informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Adapun literasi digital artinya kemampuan individu dalam menggunakan teknologi informasi untuk mengakses, mengelola, atau bertukar informasi sehingga bisa kontributif dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat.

Gerakan ini bisa dimulai dengan memperbanyak konten positif berbagi pengetahuan, bacaan, dan sebagainya. Peningkatan literasi akan membuat warga atau netizen memiliki filter terhadap informasi yang tersebar sebab pengetahuan yang kaya akan membuat orang berhati-hati dalam memilih serta menyebarkan informasi. Gerakan ini juga bisa dilakukan melalui pendidikan terkait dengan dinamika informasi di dunia digital.

Hal lainnya ialah mendorong warga untuk selalu mencari perbandingan informasi yang tersebar. Kedua, melakukan perubahan atau revisi terhadap aturan yang berlaku dengan meningkatkan hukuman bagi pembuat hoaks dan juga para penyebarnya. Perubahan atau revisi aturan mendesak dilakukan terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan KUHP. Revisi dua UU itu dibutuhkan dalam rangka membuat kepastian batasan mana yang hoaks dan bukan.

Karena, selama ini, pasal yang terkait dengan ujaran kebencian masih dianggap sebagai pasal karet. Tingkat urgensi revisi dua UU itu sangat mendesak, apalagi semakin dekatnya perhelatan Pemilu 2019. Berkaca dari pengalaman Pemilu 2014, dunia virtual atau media sosial kita akan dipenuhi beragam informasi dan sebagian besarnya ialah hoaks. Hal itu mengingat selama ini hoaks dan atau ujaran kebencian kerap dipakai untuk menjatuhkan lawan politik.

Kita tentu tidak mau pesta demokrasi, kontestasi untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat, dipenuhi fitnah dan kebohongan. Kita ingin pemimpin yang terpilih haruslah dari proses demokrasi yang menggunakan nalar dan rasa persaudaraan agar pascapemilu tidak terjadi perpecahan sosial.

*Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem (Tulisan dimuat di Koran Media Indonesia, Selasa, 12/9/2017)

 

12Sep/17

Anak dan Cyber Pornography

Oleh Joice Triatman*

KETIKA berpidato pada puncak Perayaan Hari Anak Nasional 2017 di Pekanbaru lalu, Presiden Jokowi mengundang seorang murid SD yang bernama Rafi Fadilah ke panggung. Dalam kesempatan itu, Presiden tidak meminta Rafi menyebutkan nama ikan atau nama suku seperti di acara-acara yang lain. Presiden hanya menanyakan apa cita-cita Rafi. Dengan lugas, si anak kemudian menjawab, “Ingin jadi youtuber, Pak,” jawaban yang kemudian disambut dengan gelak tawa yang hadir.

Youtuberi ialah sebutan untuk orang-orang yang membuat video dan kemudian mengunggahnya ke situs jejaring sosial Youtube. Istilah ini muncul ketika media sosial berbasis video ini menjadi trengenerasi muda dalam kurun waktu dua tahun terkahir. Sebutan ini sama halnya dengan istilah selebtwit untuk pengguna Twitter, dan selebgram untuk pengguna instagram.

Jawaban Rafi itu sesungguhnya salah satu indikasi bahwa cyberspace atau internet, terutama media sosial, telah menjangkau seluruh lapisan umur di RI. Apalagi dengan ha­dirnya ponsel pintar dengan berbagai jenis, tipe, dan harga, yang semakin memudahkan anak manusia untuk mengakses internet.

Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 menunjukkan jumlah total pengguna internet Indonesia saat ini mencapai 132,7 juta pengguna. Angka ini menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2014 yang jumlahnya hanya 88 juta pengguna saja.

Fakta menarik lainnya dari survei APJII ialah mayoritas pengguna internet setuju bahwa internet tidak aman bagi anak-anak dan meminta pemerintah terus meningkatkan program terpadu dalam penanganan konten negatif. Sementara di sisi lain, survei APJII juga menemukan bahwa penetrasi pengguna internet berdasarkan rentang umur 10-14 tahun ialah yang tertinggi, dan di atas usia 50 tahun menjadi yang terendah.

Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia juga telah berdampak pada tumbuh dan berkembangnya transaksi bisnis berbasis internet (e-commerce). Di sisi yang lain, internet juga dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membangun sistem pelayan masyarakat (e-goverment), seperti yang telah sukses dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah Kota Surabaya.

Di sisi yang lain, hadirnya internet juga telah membuat tindak kejahatan yang berkembang di masyarakat tidak lagi hanya kejahatan konvesional, seperti pencurian dan perampokan. Bentuk kejahatan yang berkembang telah berada pada ranah kejahatan yang memanfaatkan teknologi informasi dan internet atau lebih dikenal dunia dengan sebutan cyber crime.

Berdasarkan Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember 1997 di Manila, dan United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime (Palermo convention) November 2000, cyber crime diklasifikasikan ke dalam enam jenis, yaitu cyber terorism, cyber pornography, cyber harrasment, cyber stalking, hacking, dan carding.

Tanpa menyampingkan lima jenis cyber crime yang lain, sebagai seorang ibu, cyber pornography ialah salah satu yang menjadi perhatian saya. Dalam soal ini, anak-anak sangat berisiko menjadi korban praktik-praktik kejahatan, baik pornografi maupun pornoaksi lewat internet.

Selama bulan Maret 2017 saja, setidaknya ada lima kasus kejahatan seksual lewat internet terhadap anak, yang terungkap. Salah satu kasus yang paling menyedot perhatian publik adalah terbongkarnya akun Facebook bernama Candy’s Group yang mencatat aktivitas kejahatan seksual terhadap anak. Kasus-kasus yang terjadi di berbagai lokasi di RI itu mengindikasikan bahwa soal ini perlu disikapi serius dalam skala nasional.

Kebebasan anak-anak dalam mengakses internet tanpa adanya pengawasan dari keluarga, serta kurangnya pemahaman mengenai ancaman-ancaman yang bisa didapatkan dari internet, membuat anak-anak rentan menjadi korban kejahatan pornografi. Ditambah lagi, kurangnya pemahaman anak-anak mengenai hal itu membuat mereka lebih mudah menerima apa yang dilihat secara langsung tanpa adanya filterisasi.

Kita tentu sangat mengapresiasi kinerja Polri dalam membongkar kasus-kasus kejahatan terhadap anak lewat internet. Apalagi, sekarang Polri resmi mendirikan Direktorat Cyber Crime sebagai upaya menghadapi perkembangan teknologi internet, terutama media sosial dan media daring.

Namun, menjaga anak-anak agar tetap aman dari pengaruh dan kejahatan pornografi bukanlah hal yang mudah. Banyak aktor yang harus terlibat, salah satunya keluarga. Peran keluarga dalam mengawasi dan mendidik anak dalam menggunakan internet sangat mendasar. Keluarga benteng utama menyaring konten-konten yang dapat mengganggu atau mengarahkan anak kepada hal negatif, khususnya yang berbau pornografi.

Begitu pula terkait kejahatan pornografi yang telah membuat anak-anak menjadi korban eksploitasi dan pelecehan seksual. Dalam hal ini, peran pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait juga harus diperkuat, demi meminimalisasi dan menghilangkan kejahatan-kejahatan terhadap anak lewat internet.

Penegakan UU No 17/2016 tentang Perlindungan Anak dan UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memang akan terasa perannya ketika kejahatan terungkap dan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Namun, setiap kejahatan yang telah terjadi terhadap anak yang mungkin berdampak buruk terhadap masa depan anak menandakan lengahnya kita dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak.

Oleh karena itu, selain penegakan hukum yang kuat, hal yang paling utama dan dominan dalam upaya meminimalisasi dan menghilangkan kejahatan berbasis internet terhadap anak ialah memperkuat dari sisi pencegahannya. Ini terutama dalam hal memberikan edukasi tentang memakai internet yang sehat bagi anak.

Saya jadi teringat Bill Gates, pendiri perusahaan raksasa Microsoft yang tidak membolehkan anaknya memiliki ponsel sebelum menginjak usia 14 tahun. Padahal, satu hasil studi yang dilakukan lembaga Influence Central pada tahun 2016 mengungkapkan rata-rata anak di AS mendapatkan ponsel pertamanya di usia 10 tahun.

Sebagian orang mungkin heran karena mengira Bill Gates akan memberikan gadget yang berlimpah untuk ketiga anaknya. Namun, sebagai seorang revolusioner di bidang teknologi tentu paham betul konsekuensi apa yang bisa ditimbulkan internet terhadap anak-anak sehingga memutuskan tidak memperbolehkan anaknya memiliki ponsel sebelum menginjak usia 14 tahun.

Jika seorang Bill Gates saja begitu mewanti-wanti anaknya dalam soal internet, mengapa kita yang awam abai dan seenaknya dalam berin­teraksi dengan internet?

*Fungsionaris DPP Partai NasDem (Tulisan dimuat di Koran Media Indonesia, Sabtu, 9/9/2017)

29Aug/17

Pariwisata dan Ekonomi Rakyat

Oleh Virgie Baker*

PRESIDEN Joko Widodo telah menetapkan enam sektor yang akan menjadi fokus pembangunannya pada 2017 ini. Salah satunya adalah pariwisata. Sektor itu dianggap mampu menjadi penopang pertumbuhan ekonomi yang strategis bagi negeri. Keseriusan tersebut terlihat dengan telah ditandatanganinya Peraturan Presiden Nomor 21 tentang Bebas Visa Kunjungan bagi 169 negara selama 30 hari pada Maret 2016. Indonesia bebas visa kunjungan bertujuan mempermudah wisatawan yang ingin berkunjung ke Indonesia. Berkaca dari terobosan tersebut, kita bisa melihat ada pergeseran dalam paradigma pembangunan Indonesia yang dilakukan pemerintah sekarang.

Pemerintah mencoba melakukan langkah pasti dan konkret dengan mengubah sektor yang selama ini hanya sekunder menjadi primer. Terobosan itu tentunya patut diapresiasi. Apalagi jika kita tahu, sebelumnya pemerintah lebih cenderung mengandalkan atau bertumpu pada eksplotasi sumber daya alam, seperti minyak, batu bara, timah, dan emas. Semua sumber daya alam tersebut menjadi komoditas utama untuk mengejar anggaran belanja.

Tren positif

Menurut The Travel and Tourism Competitiveness Report 2017, pariwisata Indonesia kini menempati posisi ke-42 dari 136 negara tujuan wisata, naik dua peringkat dari tahun sebelumnya. Data itu menunjukkan tren positif kunjungan wisatawan ke Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2014, jumlah wisatawan yang mengunjungi pariwisata Indonesia berkisar 9,44 juta orang. Pada 2015 angka itu mencapai 10,4 juta orang. Sementara itu, pada 2016 naik menjadi 11,5 juta orang. Presiden Joko Widodo sendiri menargetkan ada 20 juta wisatawan yang bisa datang ke Indonesia pada 2019 nanti. Angka itu ekuivalen dengan Rp280 triliun yang bisa menjadi devisa negara.

Pemerintah sepertinya sadar bahwa pariwisata hari ini sudah dianggap sebagai katalisator pembangunan. Artinya, sektor pariwisata ialah faktor yang bisa mempercepat proses pembangunan itu sendiri, seperti pembangunan infrastruktur dan akses transportasi. Impak lebih lanjutnya ialah memperbanyak kesempatan kerja, mempercepat pemerataan pendapatan, meningkatkan pajak negara, serta retribusi daerah. Tidak hanya itu, hal ini juga bisa mendorong pertumbuhan pembangunan wilayah yang memiliki potensi alam dan potensi sejarah.

Muara dari semua ini ialah pengaruh secara signifikan terhadap pendampatan negara. Secara khas, dampak positif dari peningkatan industri pariwisata, khususnya pada negara-negara berkembang, jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari selama dua dekade terakhir. Yang paling populer ialah tumbuh dan berkembangnya usaha-usaha kuliner, terutama yang berbasis masakan khas daerah. Selain itu, cendera mata yang menonjolkan ornamen dan keunikan lokal turut menjadi dampak lanjutan dari keseriusan pengelolaan terhadap industri wisata. Belum lagi pelestarian arsitektur tradisional dan gedung-gedung bersejarah, munculnya grup pemandu wisata dan penerjemah, tumbuhnya lembaga pendidikan dan pelatihan pariwisata, pertumbuhan ekonomi digital dari agen-agen perjalanan dan wisata, hingga berkembangnya bisnis penginapan pada hampir setiap daerah tujuan wisata.

Manifestasi kesadaran itu tampak pada kebijakan pemerintah yang telah menetapkan sepuluh daerah prioritas tujuan pariwisata, antara lain Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Candi Borobudur, Bromo-Tengger-Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai. Pemerintah juga membangun infrastruktur untuk mempermudah akses menuju destinasi yang diharapkan menjadi idola baru para wisatawan tersebut. Pemerintah pun tidak lupa mengajak para investor untuk turut serta membangun berbagai kebutuhan yang dapat membuat nyaman para wisatawan.

Sepuluh daerah yang menjadi prioritas pemerintah tersebut memiliki semua syarat untuk menjadi tujuan wisata yang akan membuat banyak kalangan datang hingga kemudian diharapkan mereka akan menceritakan pengalaman baik itu ke seluruh dunia.
Di titik ini, keterlibatan warga harus menjadi satu perhatian khusus yang mesti dilakukan pemerintah. Pasalnya, arsitektur pariwisata Indonesia tidak sekadar keindahan alamnya, tetapi juga tradisi dan budayanya. Oleh karena itu, dibutuhkan secara mendasar edukasi terhadap masyarakat agar muncul kesadaran bahwa mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari industri ini. Misalnya, mereka diajak untuk senantiasa mempertahankan nilai adat istiadat dan budaya khas yang mereka miliki sebagai pembeda dari tujuan wisata lainnya. Output dari semua itu ialah terwujudnya pelayanan yang paripurna terhadap wisatawan.

Pemberdayaan masyarakat

Kota Guilin ialah satu dari empat kota tujuan pariwisata di Tiongkok yang direkomendasikan WTO. Sebelum reformasi ekonomi di Tiongkok, kota itu merupakan kawasan miskin. Keberhasilan Den Xiaoping mengintegrasikan antara masyarakat dan pariwisata, yang befokus pada eco-tourism, adventure travel, dan cultural travel, membuat perekonomian Kota Guilin berubah menjadi jauh lebih baik. Di Indonesia sendiri ada Bali yang berhasil dalam banyak aspek kehidupan masyarakatnya yang menunjukkan sinerginya dengan pariwisata.
Kita juga bisa belajar dari Nihiwatu atau Nihi Sumba Island yang terletak di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.

Daerah yang disebut terakhir ini ialah salah satu contoh terbaik untuk konsep sustainable tourism development. Nihiwatu secara konsisten berhasil membantu mengembangkan komunitas masyarakat di sekitar resor itu berada dengan berbagai kontribusinya, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan lingkungan. al paling pentingnya ialah 90% lebih pekerja Nihiwatu ialah masyarakat lokal sehingga memberikan dampak langsung terhadap ekonomi masyarakat setempat. Keberhasilan Nihiwatu menerapkan konsep sustainable tourism development ini kemudian mendapatkan apresiasi selama dua tahun berturut-turut (2016 dan 2017) sebagai hotel terbaik di dunia, dalam ajang World’s Best Awards yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun oleh majalah Travel+Leisure.

Letak geografis Indonesia yang strategis, keanekaragaman bahasa dan suku bangsa, keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, serta peninggalan sejarah, seni, dan budayanya merupakan modal terbesar yang kita miliki dalam upaya mengembangkan dan memajukan pariwisata. Jika Indonesia mampu dan berhasil membangun pariwisata dengan baik, bukan tidak mungkin sumber perekonomian Indonesia yang dulu dibelah menjadi dua, yakni pendapatan migas dan pendapatan nonmigas, akan berubah menjadi pendapatan pariwisata dan pendapatan nonpariwisata.

Hal di atas ialah satu dari sekian banyak contoh keberhasilan sektor pariwisata yang terbukti telah memberikan nilai lebih bagi masyarakat. Sektor pariwisata, jika benar pengelolaannya, sesungguhnya ialah sektor penggerak perekonomian yang bahan bakunya tidak akan pernah habis. Bila dikembangkan secara terencana dan terpadu, peran sektor pariwisata akan melebihi sektor migas yang selama ini menjadi primadona sumber pendapatan negara. Saat ini, dunia telah menyadari bahwa pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi yang penting. Bahkan negara seperti Arab Saudi saja tengah menggarap proyek spektakulernya di sekitar Laut Merah yang digadang-gadang akan menjadi destinasi wisata termegah di Timur Tengah.

Kesadaran itu muncul tidak hanya karena mereka tidak akan bisa selamanya mengandalkan minyak, tetapi juga karena mereka mulai menyadari bahwa pariwisata adalah sumber pendapatan negara yang cukup besar. Dari proyek Laut Merah dengan luas 34 ribu meter persegi tersebut Arab Saudi terobsesi oleh pemasukan negara sekitar US$5 miliar per tahunnya dan terciptanya lapangan kerja baru bagi 35 ribu warganya. Kini, saatnya pula bagi Indonesia untuk lebih serius mengelola sektor yang bisa membangkitkan ekonomi rakyat di akar rumput.

*Fungsionaris DPP Partai NasDem

23Aug/17

Ruang Kegembiraan Anak

Oleh Joice Triatman *

BEBERAPA hari yang lalu saat membuka Youtube, secara tidak sengaja saya menemukan video Deddy Corbuzier. Dalam video itu dia menantang Presiden Joko Widodo untuk menyanyikan satu saja lagu anak yang diciptakan dalam kurun 5 atau 10 tahun terakhir. “Jika Presiden mampu menjawab, akan mendapatkan hadiah sepeda,” begitu dia berseloroh.

Bagi saya, tantangan tersebut berlaku kepada siapa saja dan bukan hanya untuk 5 atau 10 tahun tetapi 15 tahun terakhir. Tidak ada jaminan di antara kita yang mampu melakukannya. Adakah lagu anak-anak yang cukup akrab di telinga kita akhir-akhir ini?

Pertanyaan Deddy itu sepertinya telah menyadarkan kita semua bahwa dalam satu dekade terakhir tidak ada satu pun lagu anak-anak tercipta. Jangankan populer, tercipta saja belum tentu. Ajang kompetisi penyanyi cilik sekalipun berisi lagu-lagu orang dewasa. Hampir tidak ada di antara pesertanya yang menyanyikan lagu bertemakan dunia mereka sendiri. Dalam dunia seni musik, anak-anak terasing dari dunia mereka sendiri. Akibatnya, mereka menjadi lebih cepat dewasa sebelum waktunya.

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan hak mereka dalam konteks tersebut. Pertama, adanya proses evolusi pada manusia dewasa yang hanya menjadi manusia ekonomi. Semua tindakan dan perilaku hanya berorientasi pada pemenuhan atau berdampak-langsung-tidaknya ia secara ekonomi. Di sini, lagu anak-anak belum tentu bisa menghasilkan nilai ekonomi besar jika dibandingkan dengan lagu-lagu bertema orang dewasa yang mewakili semangat generasi di zaman ini.

Kedua, terjadinya stagnasi kreativitas para pencipta lagu anak, yang tidak lepas juga dari faktor pertama. Di sisi lain, kekerasan terhadap anak terus terjadi. Kita bisa melihat dari gencarnya pemberitaan di media massa ataupun di media sosial terkait dengan soal ini. Banyaknya kasus kekerasan dan kejahatan seksual yang diungkap kepolisian dan lembaga terkait seolah tidak berujung. Berbagai respons dan tindakan dilakukan, tetapi seolah tidak berdampak secara signifikan.

Perppu kebiri yang tahun lalu telah disahkan menjadi UU juga seperti tidak ngefek bagi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Alih-alih menenteramkan, terungkapnya banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak justru menebar kerisauan, keresahan, dan ketakutan warga.

Namun, di sisi lain, hal ini justru bisa membuat persepsi publik berubah. Kejadian yang bertubi-tubi rupanya telah menumbuhkan kesadaran masyarakat, terutama keluarga korban, dalam melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal itu tidak lepas dari kecenderungan yang ada di tengah masyarakat yang lebih cenderung menyalahkan dan menghindari korban.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan laporan kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan signifikan. Pada 2014, KPAI menerima laporan sebanyak 656 kasus, sedangkan pada 2016 KPAI menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat.

Banyaknya laporan tersebut tentu harus dibarengi dengan kuatnya penegakan hukum. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah lebih dari satu tahun ditetapkan. Jika UU ini bekerja efektif, harusnya akan memberikan efek jera pada pelaku kejahatan seksual. Di dalamnya ada pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku dan pengumuman identitas pelaku. Hukuman yang tidak kalah beratnya berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Berantas kejahatan
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menetapkan program unggulan 3Ends yang terdiri dari ‘akhiri kekerasan perempuan dan anak, akhiri perdagangan orang, dan akhiri ketidakadilan akses ekonomi untuk perempuan’ sebagai upaya dalam menangani semua kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Prakarsa pemerintah dalam membuat mekanisme perlindungan anak berbasis masyarakat terpadu yang bertujuan mencegah dan merespons kekerasan terhadap anak di 34 provinsi patut diapresiasi. Ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah secara nyata untuk melindungi anak dan generasi masa depan dari kekerasan dan kejahatan seksual.

Selain itu, peran dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan menjadi hal yang tidak kalah penting untuk mengurangi kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak. Selama ini, perhatian pada kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak hanya ramai saat kasus tersebut terungkap. Selanjutnya, nyaris tidak ada yang mengikuti kasusnya sampai selesai. Tidak mengherankan jika banyak kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak berhenti di tengah jalan.

Peringatan Hari Anak Nasional dapat dijadikan momentum lebih dalam untuk mengajak seluruh elemen bangsa agar merasa memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan perlindungan dan mewujudkan kesejahteraan anak. Langkah ini bisa dilakukan dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya dan perlakuan tanpa kekerasan dan diskriminasi.

Ruang dan kegembiraan anak
Utang dan pekerjaan terbesar orang dewasa saat ini terhadap aset sekaligus generasi penerus bangsa itu ialah dengan menciptakan ruang kegembiraan anak sebanyak-banyaknya secara terus-menerus. Ruang itu dibutuhkan itu berupa ruang yang bisa mengeksplorasi kemampuan serta kepekaan sosial anak.

Penciptaan ruang ekspresi itu menjadi tanggung jawab seluruh komponen. Secara formal hal ini menjadi tanggung jawab negara cq pemerintah. Mereka harus menyediakan berbagai ruang dan fasilitas demi terpenuhinya kebutuhan ini. Ekspresi dan eksplorasi keseharian menjadi tanggung jawab bersama lingkungan tempat anak itu tumbuh.

Apa yang dilakukan pemerintah pada perayaan Hari Anak Nasional pada 23 Juli lalu di Pekanbaru layak diapresiasi. Dalam kesempatan tersebut pemerintah memberikan penghargaan kepada kota yang ramah anak. Sebuah upaya yang patut disyukuri mengingat saat ini kurang lebih 40% penduduk Indonesia sudah berdiam diri di kota-kota.

Hanya, komitmen pemerintah pusat ini belum sepenuhnya dipahami pemerintah daerah yang lebih sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik. Presiden Jokowi dalam pidatonya saat acara peresmian Akademi Bela Negara bentukan Partai NasDem menyampaikan pembangunan fisik akan mudah dikejar dan dikerjakan, tetapi ia tidak akan berarti apa-apa jika pembangunan karakter manusianya tidak menjadi kunci pembangunan.

Di sini, pendidikan menjadi kuncinya. Dalam masalah pendidikan anak, kita mestinya bisa belajar dari Finlandia dan Australia. Mereka mampu membuat proses pendidikan yang lebih mengedepankan karakter dan kreativitas, bukan angka-angka yang artifisial belaka. Dengan menyesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan kearifan yang terhampar banyak di penjuru Indonesia, mestinya kita bisa melakukan hal itu.

Namun, jika itu juga masih terasa sulit, membangun sebanyak mungkin ruang-ruang kegembiraan bagi anak akan menjadi langkah maju bagi upaya membayar utang kita kepada mereka.

* Fungsionaris DPP Partai NasDem / Direktur Media Center Fraksi Partai NasDem DPR RI

23Aug/17

ABN, Indonesia Kini dan Tanggungjawab Parpol

Oleh: Akbar Faizal*

72 tahun silam, para founding fathers membuat kesepakatan maha besar bernama Indonesia. Tidak hanya sekedar nama, diksi Indonesia mengandung makna yang luas dan dalam. Ia adalah representasi dari beragam agama, bahasa, budaya, suku, hingga warna kulit. Semua bersepakat untuk mengesampingkan kepentingan dan ego kelompoknya demi tujuan nasional yang ditancapkan di dalam konstitusi bernegara.

Proses bernegara sebagai Indonesia telah melewati lorong waktu, hingga berganti abad. Ibarat kapal besar, Indonesia telah menerjang berbagai macam riak dalam bentuk evolusi dan revolusi. Bukan sesuatu yang singkat dan mudah, karena ada air mata, darah dan nyawa ditumpahkan yang harus dibayar untuk sebuah proses.

Proses bernegara itu membuat posisi Indonesia hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Beragam statistik dan pencapaian di berbagai sektor menunjukkan grafik dan tren ke arah positif. Salah satu kemajuan yang menonjol adalah surplus demokrasi pasca periode transisi orde baru ke orde reformasi di penghujung abad 20. Surplus itu ditandai dengan fenomena kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana pengaturan di dalam UUD 1945.

Di zaman modern seperti sekarang ini, kebebasan berekpresi tak lagi dibatasi ruang dan waktu. Setiap warga Negara, dari Aceh sampai Papua bisa bertatap muka secara maya, berbalas cuit hingga berbagi gambar. Media sosial atawa teknologi membuat batasan geografis menjadi ‘hilang’. Dunia maya menjadi bising dan riuh, bahkan keriuhannya pernah menempatkan Jakarta sebagai kota terbanyak menghasilkan cuitan di twitter.

Gerak lari transformasi teknologi sudah teramat kencang. Hari ini, orang tak perlu lagi berdemonstrasi turun ke jalanan. Demonstrasi kini bisa dilakukan dengan petisi dari masing-masing gadget dan wifi. Ya, demokrasi jalanan sudah mulai beralih ke demokrasi jari jemari. Kita tak akan kuasa menahan perubahan zaman. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah beradaptasi dengan perubahan itu sendiri. Jika tak pandai-pandai membawa diri, maka bersiaplah menjadi korban zaman.

Hukum alamnya, perubahan selalu membawa dua ekses, positif dan negatif. Teknologi berarti kemudahan hidup dan bagi mereka yang berpikir cerdas, bahkan bisa disulap menjadi tambang uang. Namun bagi sebagian orang, ekses yang ditimbulkan dari modernisasi komunikasi maya yang tampaknya terlalu cepat maka efek seperti bullying membuat kerekatan sosial antar anggota masyarakat makin longgar. Bangsa kita menjadi mudah terpecah belah, terhasut dan tersulut kemarahannya terhadap sesuatu hal yang seharusnya bisa disikapi dengan kepala dingin.

Hal ini semakin diperparah oleh hoax yang tak bertanggungjawab. Sebagian saudara kita terlalu cepat menelan mentah-mentah setiap informasi yang diterima tanpa melakukan verifikasi kebenarannya. Seringkali atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, seseorang bisa berkata apa saja sesuka hatinya. Padahal hak kebebasan itu berdiri secara diametral dengan hak asasi orang lain.

Jika kita salah mengantisipasi, ancaman perpecahan sudah di ambang pintu. Karena itu, negara perlu perlu lebih hadir di tengah-tengah masyarakat. Negara tidak dapat hanya dimaknai sebagai pemerintah/eksekutif saja, tetapi semua lembaga negara, termasuk partai politik sekalipun. Bahkan sejatinya kita semua sebagai warga negara wajib menyelamatkan (membela) negara dari setiap ancaman.

Menggagas Peran Parpol

Konstitusi memberi mandat kepada partai politik (parpol) untuk mengelola negara dan membela negara sesuai dengan fungsinya. UU parpol sendiri menempatkan parpol sebagai pilar utama pendidikan politik, penyerap aspirasi politik dan media rekrutmen politik dalam rangka pengisian jabatan publik. Pertanyaannya, dengan segudang permasalahan bangsa yang tengah dihadapi bangsa ini, sudah sejauh manakah partai politik mengambil bagian dari solusi? Bagaimana kita sebagai sebuah bangsa menghadapi ini semua?

Tengoklah nasionalisme total dalam bentuk spirit/semangat, seperti halnya di Amerika atau China. Meski mereka lebih maju dalam hal model demokrasi dan teknologi, teknologi hanyalah sebagai alat, sedangkan nasionalisme dalam dada setiap warga negaranya menjadi hal yang utama. Cara mencapainya adalah dengan terus menerus digelorakan kebanggaan sebagai sebuah bangsa dengan nilai-nilainya dan bukan sebaliknya dalam bentuk menggelorakan globalisasi atas nama teknologi yang semu.

Jika kita runut ke belakang, tujuan umum dibentuknya parpol adalah memujudkan cita-cita nasional, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya meningkatkan partisipasi anggota dan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, memperjuangkan cita-cita parpol, dan membangun etika dan budaya politik (vide: pasal 10 UU Parpol).

Tujuan pembentukan parpol sangat relevan dengan tugas-tugas bela membela negara dari ancaman di segala bidang. Bela negara memiliki konteks yang sangat luas. Bela Negara adalah memperjuangkan setiap kepentingan dan tujuan Negara dalam hal apa saja. Bela negara dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Bela Negara bisa dilakukan oleh tukang becak di daerah antah berantah hingga politisi di pusat kekuasaan. Bela Negara bisa dilakukan dengan tenaga, dengan berbicara ataupun dengan menggunakan pena.

Parpol tidak boleh hanya disibukkan dengan agenda pemilu dan pilkada yang sifatnya jangka pendek. Ada kepentingan lebih besar yang harus diperjuangkan. Dengan kata lain, parpol tidak boleh hanya berkutat dengan urusannya sendiri, apalagi semata soal popularitas dan elektabilitas. Parpol tidak boleh abai dan lepas tangan terhadap setiap ancaman permasalahan bangsa yang muncul. Parpol mau tidak mau harus turun tangan mengatasi persoalan.

Maka dalam konteks implementasi peranan partai politik, Akademi Bela Negara (ABN) yang didirikan oleh Partai NasDem merupakan salah satu cara parpol untuk menjawab tantangan zaman itu. Sebagai parpol berusia muda, NasDem telah menawarkan paradigma baru dalam berpolitik dan bernegara. Paradigma itu mewujud diantaranya dalam bentuk penolakan dana aspirasi anggota DPR, rekrutmen politik tanpa mahar, penolakan hampir semua kegiatan studi banding ke luar negeri. NasDem mencoba menghadirkan harapan baru di antara derasnya pesimisme dan delegitimasi terhadap parpol.

Proses ini penting bagi parpol sendiri secara internal dan secara eksternal. Secara internal, terobosan ala NasDem penting guna mencetak kader-kader partai nasionalis siap pakai yang tegak lurus pada semangat nasionalisme dan NKRI. Bagi sebuah partai modern, sumber daya tidak boleh hanya dimaknai secara finansial saja, tetapi yang lebih utama justru sumber daya manusia.

ABN juga dapat menjadi jawaban atas kegagapan kaderisasi yang membuat kadernya juga gagap dalam banyak hal termasuk dalam hal nasionalisme. Generasi milenial juga menyergap mereka yang menyebut diri kader parpol. Hal ini sebenarnya normal, namun menjadi anomali karena globalisasi terlalu kuat mendominasi alam berpikir mereka. Sehingga, jejak-jejak nasionalisme kader parpol dan segala hal yg berhubungan dengan kebangsaan tidak dapat teridentifikasi sebagai akibat kaderisasi yang bermasalah.

Secara eksternal, inisiasi partai NasDem ini diharapkan dapat menjadi trigger bagi partai dan organisasi lain agar selalu mengingat khittahnya sebagai parpol agar selalu sadar akan tugas dan tanggungjawabnya. NasDem tentu saja akan bersenang hati jika gagasannya diadopsi parpol lain tanpa perlu merasa gagasannya ditiru. Karena NasDem sadar benar, bahwa memperbaiki bangsa ini tidak bisa dilakukan seorang diri.

Akhirnya, sekecil dan sebesar apapun ikhtiar yang dilakukan oleh elemen bangsa seharusnyalah didukung. Seperti kata pepatah ‘daripada mengutuk gelap, mari nyalakan lilin’. Lilin-lilin yang dinyalakan Partai NasDem ini mencoba untuk menghadirkan secercah cahaya harapan yang menerangi kegelapan.

*Anggota Komisi III F-NasDem DPR RI

23Aug/17

Memahami Perppu No 2 Tahun 2017 Dalam Perspektif Melindungi Tumpah Darah

Oleh: Ahmad M Ali *

Kehadiran Peraturan Presiden Pengganti undang-undang Nomor 2 tahun 2017 yang mengatur mengenai organisasi kemasyarakatan menuai kritikan dari berbagai pihak. Walaupun telah disampaikan di berbagai media, bahwa tujuan negara adalah untuk memastikan keselamatan, menghalau kecemasan dan memberikan kepastian hukum. Langkah itu diambil untuk menjamin keselamatan bersama dari ancaman radikalisme dan prahara yang lebih luas. Dalam artian, ada suatu ancaman global yang menjadi suatu kegentingan yang sifatnya memaksa negara untuk mengambil langkah-langkah strategis.

Pertanyaannya, apakah sudah ada kegentingan yang memaksa sehingga aturan dan pendisiplinan organisasi kemasyarakatan perlu dilakukan? Tulisan ini bukan hendak menjawab seputar desas-desus yang berkembang seputar Perppes tentang ormas diterbitkan. Tetapi sebagai suatu sumbangan pikiran yang dapat membantu memberi maksud pentingnya pembelaan tanah air. Sekaligus sebagai suatu sikap dari Partai NasDem memberi dukungan pada kebijakan Presiden Joko Widodo.

 Kerukunan versus Perpecahan 

“rasa cinta bangsa itu lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala yang hidup (Soekarno, 1963),” demikian petikan Soekarno dalam buku di bawah Bendera Revolusi. Soekarno memberi penegasan pada tidak adanya larangan pengetahuan, keyakinan, agama ras dan lain-lain hidup di bawah perlindungan Republik Indonesia.

Petikan yang bersejarah ini sengaja dihadirkan kembali untuk memberikan suatu keyakinan betapa pentingnya menjaga Pancasila sebagai ideologi negara yang memberi tempat perlindungan pada segenap tumpah darah. Pancasila membingkai semua identitas yang terkoyak, yang marjinal, terpinggirkan, tersingkirkan menjadi satu kekuatan bangsa (nation).

Uniknya, Indonesia bisa menyatu karena kesamaan nasib, ini mukjisat karena tak pernah terjadi di negara mana pun. Kita dari awal tak berdiri karena agama, suku, warna kulit, bahasa dan sebagainya. Kita berdiri bersama karena lelah, letih, tersiksa, dan menderita karena dijajah.

Dalam konteks itu segala ancaman runtuhnya wibawa dan penghianatan terhadap Pancasila harus dipahami sebagai ancaman bagi segenap tumpah darah. Lebih celaka lagi, kalau niatan itu telah jadi sebuah gerakan politik. Yang diekspresikan di jalan-jalan utama secara terbuka, mengumandangkan sikap politik untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi negara.

Konstalasi Global ‘Perang Ideologi’

Tidak ada yang memungkiri bahwa dunia sedang diseret pada “perang ideologi”. Merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Samuel Huntington tentang “ Clash of Civilization “, mengatakan, bahwa ada semacam pertentangan antara peradaban yang merupakan sebuah entitis kultural, hendak menggantikan entitas negara yang konvensional. Percaturan dunia nampaknya sedang dalam ruang lingkup itu.

Pasca pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan segala kontroversinya, haluan politik negara terdiri dua golongan utama yakni: kalangan nasionalis dan agama, termasuk golongan kaum muslim di dalamnya. Sepanjang dekade yang telah kita lewati itu, kerukunan antara golongan nasionalis dan Islam, telah membentuk suatu ikatan kebangsaan yang kokoh. Tidak ada rasa saling menapihkan satu sama lain melainkan berjalan beriringan.

Pada era reformasi kebebasan menyampaikan pendapat dan organisasi tumbuh bak jamur di musim penghujan. Gerak bangsa sedemikian berkembang tanpa adanya rambu-rambu ideologi untuk pendisiplinan nasional. Ditambah lagi dengan menguatnya situasi demokrasi ke arah alam liberalistik yang menyebabkan timbulnya kekosongan penguatan ideologi negara, Pancasila. Kekosongan ini kemudian dijadikan sebagai ruang untuk menginput paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Sebagian orang tertentu mengakses informasi dan komunikasi dan menyebarkan pandangan dunia. Yang diarahkan untuk mendorong lahirnya gerakan mengubah sistem dan dasar negara dengan bentuk yang baru.

Sementara itu, saban hari kita menyaksikan dari berbagai media, baik sosmed, televisi, koran dan berita online. Bagaimana upaya radikal dari gerakan ekstreme tertentu memaksakan pandangan kulturalnya untuk membangun sebuah negara dengan tesis tertentu. Mereka tidak hanya melakukan gerakan politik lewat pengorganisasian bawah tanah tetapi juga melancarkan hard diplomatic lewat sejumlah aksi perang kota, pengeboman, penculikan dan sebagainya.

Pengalaman sejumlah negeri di Timur Tengah yang kini hancur berantakan menjadi contoh yang kasat mata. Terlepas dari segala macam kontroversi konspiratif lewat perang proxi, tetapi tak bisa dinapihkan, bahwa susunan kekuatan tersebut berdiri atas landasan keyakinan kultural tertentu, sebagai pandangan dunia yang membimbing mereka melakukan gerakan makar. Dan yang terbaru adalah prahara Marawi di Philipina, negara yang bertetangga dengan Indonesia. Contoh-contoh tersebut bukan sekedar mengabarkan rangkaian kekerasan bersenjata tetapi juga mengakibatkan ribuan lahirnya pengungsi dan jatuhnya korban jiwa pada masyarakat sipil yang tidak berdosa.

Perpres untuk Melindungi Segenap Tumpah Darah

Tentu saja, kita tidak berharap konstalasi global tersebut terjadi di Indonesia.  Kita tidak ingin negara kesatuan Republik Indonesia, dijadikan sebagai arena perang proxi ideologi. Sehingga, jauh-jauh hari peristiwa di tempat lain tersebut, kita jadikan peringatan pada diri sendiri untuk berbenah diri. Berbenah diri dalam pengertian ini adalah melakukan suatu gerak restorasi arah demokrasi dan nasionalisme kita untuk kembali pada hakikatnya.

Dalam pengertian itulah, maksud yang terkandung dalam Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2017 sebagai suatu pengejawantahan untuk menjaga kerukunan tersebut. Suatu langkah yang diambil oleh negara untuk menghentikan berbagai macam provokasi benturan antara nasionalisme dan Islam, maupun dengan yang lainnya, baik dalam konteks negara hingga tindakan sehari-hari.

Kehadiran Perpres Nomor 2 tahun 2017, harus didudukan dalam konteks sebagai berikut: Pertama, langkah tersebut tentu saja bukan suatu tindakan kesewenang-wenangan untuk mencabut hak berorganisasi, berkumpul dan menyampaikan pendapat. Tetapi suatu ikhtiar melindungi segenap tumpah darah kita dari pengaruh radikalisme yang buruk; yang anti terhadap kerukunan rakyat;

Kedua,bagi kita, Pancasila telah terbukti mampu menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai pikiran dan aliran di dalam satu kesatuan kebangsaan. Pancasila sebagaipandangan hidup bangsa Indonesia adalah suatu kerangka holistik dan menyeluruh pada dimensi-dimensi subjektif rakyat Indonesia. Selama ratusan tahun hal itu telah dibunuh, dimatikan dan dihilangkan oleh sistem Kolonial.

Ketiga, negara tidak mungkin menunggu tumbuhnya gerakan radikal yang kuat baru mengambil tindakan. Oleh karena itu, pikiran jernih semua kalangan mengenai ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus ditempatkan dalam kepentingan yang lebih luas sebagai suatu kegentingan yang mendesak. Seperti kata pepatah, “negara saat ini tidak sedang memelihara anak kucing, tapi anak singa”. Ancaman radikalisasi untuk merongrong Pancasila dapat menjadi malapetaka jika tidak segera diambil tindakan yang tegas. Pembubaran ormas yang terang-terangan anti Pansila jauh lebih baik dilakukan sekarang sebelum semua terlambat.

Oleh karena itu,  dari pada kita harus teriak untuk berjuang dan berkorban agar “merdeka lagi,”. Maka mempertahankan kemerdekaan dengan merawat rasa kebangsaan, kerukunan semua golongan, dan bekerja keras membangun bangsa harus jadikan sebagai tujuan yang utama. Agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, baik Jasmani dan Rohani dapat tercapai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

*Anggota Komisi III F-NasDem DPR RI

26Apr/17

Lawan Kampanye Negatif Industri Sawit

Oleh Hamdhani*

Indonesia perlu bekerja keras, ekstra keras, untuk melawan kampanye negatif tentang industri kelapa sawit dengan segala turunannya. Apa yang sudah kita lakukan jelas perlu sosialisasi, perlu kampanye masif, secara terus-menerus, tanpa kenal lelah. Terutama karena serangan dari lawan bisnis sangat gencar. Yang terbaru, Parlemen Eropa mengadopsi resolusi soal kelapa sawit, Selasa (4/4), salah satunya mewajibkan sertifikasi tunggal untuk minyak sawit yang diekspor ke Uni Eropa. Tujuannya menanggulangi dampak produksi minyak sawit yang dianggap tidak berkelanjutan, tidak ramah lingkungan, terutama di Asia Tenggara. Selain itu, resolusi tersebut mendesak agar minyak sawit tak dimasukkan sebagai bahan baku untuk program biodiesel Uni Eropa pada 2020. Resolusi berjudul Palm Oil and Deforestation of the Rainforests (Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Hujan) itu diajukan berdasar pada tudingan bahwa pengembangan industri kelapa sawit penyebab utama deforestasi dan perubahan cuaca.

Kita mengutuk serangan terhadap industri sawit, yang kembali berulang itu. Jelas Parlemen Eropa menunjukkan sikap tidak bersahabat dengan Indonesia, bahkan cenderung menghina, selain menyinggung kedaulatan negara. Tuduhan bahwa sawit ialah korupsi, eksploitasi pekerja anak, melanggar HAM, jelas ngawur dan tidak bisa diterima. Untuk melawan segala kampanye buruk itu, Indonesia membutuhkan public relation jempolan agar semua yang sudah dilakukan terbaca dengan baik. Kita butuh diplomasi prima agar apa yang sudah dikerjakan juga tersaji secara proporsional, setidaknya bisa melawan kampanye-kampanye negatif bermotif persaingan ekonomi global.

Tidak berdasar

Mosi Parlemen Eropa itu tidak beralasan karena tidak didasari fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Saat ini, RI justru sedang melaksanakan praktik sustainable management dalam pengelolaan sawit dan industri-industri land based lainnya. Sama seperti orientasi Parlemen Eropa dan negara-negara lain di dunia, Indonesia termasuk yang terdepan dalam upaya implementasi Paris Agreement. Kita memiliki ratifikasi Paris Agreement itu serta berbagai ratifikasi lainnya untuk langkah-langkah pembangunan berkelanjutan.

Asal tahu saja. Sawit di RI merupakan industri besar, menyangkut hajat hidup petani yang meliputi area tanam seluas 11,6 juta hektare. Sebanyak 41% di antaranya tanaman petani atau small holders, dengan tenaga kerja dari usaha hulu hingga hilir tidak kurang dari 16 juta orang petani dan tenaga kerja.

Di luar itu, kontribusi Indonesia kepada dunia dalam hal lingkungan juga harus diakui. Upaya-upaya untuk mengatasi kebakaran hutan, menata forest governance, menata tata kelola gambut, menjaga keanekaragaman hayati, dan menjaga habitat orang hutan, harimau, dan gajah merupakan kontribusi Indonesia terhadap lingkungan global. Tentu saja tidak mudah melaksanakan semua itu mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas. Ini jelas memerlukan kerja keras, dan sikap pantang menyerah, yang membutuhkan sumber daya besar, selain modal, juga pelibatan masyarakat secara luas.

Kegagalan pemerintah

Di luar itu semua, apa boleh buat, lahirnya resolusi Parlemen Eropa itu juga harus dilihat sebagai sebuah kegagalan pemerintah dalam meyakinkan pasar internasional. Terutama, terkait komitmen dan progres pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan mendasar tata kelola kebun sawit karena, harus diakuik belum optimalnya upaya perlindungan hutan dan gambut dengan nol deforestasi. Lihat saja. Isu korupsi masih mewarnai, antara lain dengan adanya temuan KPK, sampai hari ini. Juga masih adanya pelanggaran HAM, penghilangan hak masyarakat adat, dan lain-lain. Saat ini, pemerintah memang menyatakan konsen dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi diakui atau tidak, masih banyak kebijakan kontradiktif dengan upaya perlindungan lingkungan dan pengakuan hak masyarakat adat. Itulah yang harus terus dibenahi Pemerintah RI.

Dalam menyikapi laporan Parlemen Eropa itu, pemerintah harus lebih mengedepankan cara-cara diplomasi kepada berbagai pihak. Khususnya, dalam negeri, termasuk kepada organisasi masyarakat sipil, kalangan LSM. Jangan menggunakan pendekatan konfrontatif karena akan semakin kontraproduktif dengan situasi yang ada. Pemerintah sebaiknya terus mengonsolidasikan diri dengan berbagai pihak dalam menggalang dukungan bagi minyak sawit berkelanjutan. Sembari terus berkomitmen membenahi persoalan infrastruktur dan kapasitas kelembagaan, serta sistem birokrasi yang masih buruk. Kepada para pelaku usaha perkebunan sawit di Indonesia, agar senantiasa bekerja sebagaimana mestinya, sesuai dengan aturan Indonesia, dan tidak perlu terpengaruh oleh resolusi Parlemen Eropa ini. Di luar itu, civil society, para aktivis lingkungan, mari melihat masalah ini secara jernih, agar nasib dan masa depan petani sawit Indonesia tetap terjaga.

*Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi NasDem

Tulisan ini di muat di Media Indonesia Rabu, 26 April 2017

20Dec/16

Nusantara Bersatu

* Ahmad HM Ali

Konsepsi tentang persatuan dalam konteks Indonesia terbilang unik dibandingkan pengalaman negara-negara manapun. Komposisi masyarakat kita yang beragam suku bangsa dan agama, bisa dipersatukan di bawah kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia atas suatu imajinasi masa depan yang sama sebagai bangsa yang pernah terjajah. Hal ini merupakan contoh dari gagasan persatuan yang bersifat unik, sekaligus bagaimana demokrasi berjalan di atas keragaman ikatan sosial dan institusi pembentuknya.

Dalam konsepsi keberagaman itulah membuat praktik kebudayaan kita menjadi sangat kaya. Ini adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang perlu kita rawat dan jaga. Kita memiliki ribuan jenis tari-tarian, lagu-lagu daerah. Demikian pula mitologi-mitologi tiap daerah, terbentuk dari karakter masyarakatnya. Bentangan geografis kita juga terbilang unik, kita punya 17.000 pulau, 516 kabupaten kota, dan 34 provinsi.

Motto “Binneka Tunggal Ika” – yang telah dikenal masyarakat Indonesia  sekarang ini mempunyai arti bahwa walau masyarakat negeri ini amat beragam dalam berbagai aspeknya, namun tetap satu kesatuan. Kita sebagai Indonesia adalah masyarakat nusantara yang dihuni lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Keragaman itu pula diikuti dengan perbedaaan suku dan agama juga disertai keragaman agama-agama samawi dan kepercayaan-kepercayaan lokal.

Kalau kita melihat bentang sejarah kolonialisme yang panjang. Konsepsi negara bangsa kala itu, berada dalam sekat-sekat primordialisme dan kerajaan. Bentuk negara lama itu menguasai wilayah dan masyarakatnya, serta budaya masing-masing. Karena bentangan wilayah yang beragam itu nusantara dipenuhi ragam dan cara pandang kepentingan kewilayahan sendiri.

Negara-negara yang menganut paham kolonialisme, kehendak untuk menguasai dan mengeksploitasi bangsa lain, memanfaatkan unit-unit pemerintahan itu sebagai pintu masuk untuk membangun hubungan-hubungan billateral yang ditandai dengan beragam bentuk perjanjian. Bagi kerajaan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan wilayah yang luas diberikan plakat atau perjanjian jangka panjang sedangkan kerajaan yang mudah ditaklukan diberikan plakat pendek dengan wilayah dan rakyat relatif lebih kecil.

Berawal dari perjanjian itu terjadi ketidakpuasan karena ketidakadilan, diawali dari monopoli perdagangan dan penghilangan hak-hak dasar bagi rakyat setempat. Penguasa lokal atau raja-raja dimanfaatkan oleh negara-negara kolonial untuk membangun kolaborasi memeras penduduk setempat. Hal itu yang menyulut pemberontakan diantara kerajaaan-kerajaan. Oleh karena tidak ada kesamaan kepentingan, raja yang satu diadudomba dengan kerajaan lainnya melalui sejumlah perang koalisi dengan maksud untuk meredam sejumlah pemberontakan.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemberontakan dan perlawanan terhadap kolonialisme dapat dipadamkan dengan mudah. Sejak kala itu muncullah pemerintahan bentukan kolonial, pemerintahan kolaborasi yang siap menjalankan agenda kolonialisme. Setiap raja dan pemerintahannya digunakan untuk membentuk pemerintahan tidak langsung. Kontrol langsung antara kerajaan dengan rakyatnya diterapkan, pendekatan hukum kerajaan dipakai untuk menarik upeti dan pajak terhadap rakyat.

Tekanan terhadap rakyat itu melahirkan gelombang perlawanan berikutnya yang lahir dari kalangan rakyat jelata, dari petani korban herediensten, buruh pelabuhan, buruh pabrik tebu. Tetapi karena konsepsinya terjadi secara terpisah-terpisah maka berulang kali pemberontakan dapat dipadamkan dengan mudah.

Kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah kemudian ditemukan sebagai konsepsi atau alat persatuan seluruh suku bangsa dan kerajaan. Kesamaan nasib itu mendapatkan jalan terang lewat imajinasi kebangsaan yang baru; yaitu Bangsa Indonesia. Para pemikir dan kaum intelektual kelak menemukan konsepsi perlawanan terhadap kolonialisme dengan gagasan perlawanan terhadap penjajah.

Dari sanalah pekik “Merdeka” sebagai semboyan, dan juga masa depan diteriakan dari sabang sampai ke merauke, dari pesisir laut hingga dari dataran rendah ke datarang tinggi. Merdeka dari Kolonialisme itulah yang disebut alasan persatuan, dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia itulah disebut sebagai tujuan kemerdekaan. Organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai imajinasi yang dibangun sebagai lawan terhadap karakter inlander; rakyat terjajah yang menyelimuti suasana kebathinan masyarakat Indonesia.

Demikianlah tinjauan sejarah secara singkat tentang asal usul kebangsaan yang kita hidupi sekarang ini. Kita yang hidup dalam suasana sebagai Bangsa Indonesia ini bukan suatu formasi sosial yang terbentuk begitu saja atau jatuh dari langit. Bukan pula hadiah dari negara-negara kolonial, apalagi sumbangan kaum intelektual kampus.

Konsepsi Indonesia yang kita anut sekarang ini adalah buah dari pada perjuangan panjang, sebuah ikhtiar untuk melenyapkan alam kolonialisme sebagai Pengalaman pahit, pengorbanan penuh darah dan penderitaan panjang dari bumi nusantara.

Konsepsi kenusantaraan tidak bisa di bawah dalam kerangka indefendensi affirmasi suku, agama, dan kewilayahan tertentu. Tetapi mutlak, harus diangkat dalam nuansa kesetaraan hak-hak dasar sebagai warga negara yang dipersatukan oleh faktor sosio-historis.

Hak-hak dasar yang dimaksud adalah suatu kehendak bebas dalam mengekspersikan kebudayaan, kehendak bebas dalam memeluk keyakinan beragama tanpa tendensi, dan kehendak bebas mengaktualisasikan diri dalam pengembangan tekhnik, keterampilan dan pengetahuan dalam kerangka negara bangsa Republik Indonesia.

Hal ini bukan sekedar jargon apalagi simbolisasi yang nihil praktik, tetapi ini mesti menjadi teladan sejalan antara perkataan dan perbuatan.

Rujukan yang sahi dari pada persatuan adalah apa yang diutarakan oleh para pendiri. Mereka tidak sekedar meneriakan pentingnya persatuan tetapi juga menjadikannya sebagai bagian dari pandangan hidup, cara hidup dan tindakan hidup.

Oleh karena itu, pada usia 71 tahun sejak proklamasi dikumandangkan pendiri Bangsa Presiden Ir. Soekarno dan Moh. Hatta ini, konsepsi persatuan ini telah berhasil membawa kita pada suatu perkembangan yang demikian pesatnya. Kita tidak lagi menjadi lapisan masyarakat yang kerdil, intoleran, dan saling bermusuhan satu sama lain.

Oleh karena itu, menurut pendapat saya, ketika membicarakan tentang konsepsi “Persatuan Dalam Kenusantaraan” bukan dalam rangka membicarakan keagungan masa lampau dan hendak mengembalikannya. Tetapi suatu pijakan bagi pandangan hari depan. Suatu cara pandang meneruskan, mematangkan, dan menemukan jiwa dari pada keinginan untuk terbebas dari praktik kolonialisme selama-lamanya.

Sebelum saya masuk pada intisari dari pandangan pokok. Sebelumnya, ingin saya sampaikan sekali lagi pada suadara-saudara. Bahwa salah satu alasan pembentukan kebangsaan kita adalah kesamaan nasib di masa lalu sebagai bangsa yang terjajah.  Itulah substansi mengapa persatuan itu dianggap penting. Persatuan itu adalah bangunan yang terdiri dari pondasi, tiang penyangga dan juga atap dari pada Negara Bangsa Republik Indonesia.

Jika persatuan terancam, maka Republik ini pula pasti terancam; jika persatuan dilanda penyakit, maka kebangsaan kita pula akan sakit; jika persatuan ini diuji, kita semua akan merasakan kegoncangan; Jika Persatuan ini diusik oleh kepentingan lain, maka suasana kehidupan rakyat pun tak akan tenang.

Maka dari itu, saya sampaikan pada saudara-saudara, jika konsepsi persatuan kita abaikan, itu artinya kita pula telah mengabaikan keutuhan bangsa ini.

Anti-Tesis dari Persatuan dalam formasi sosial semacam ini sangat sederhana; yaitu pecah belah; membangun permusuhan dari dua sisi perbedaan; menajamkan arogansi para pihak, singkatnya adalah adu domba seperti yang dipraktikan pada masa kolonialisme Belanda; yaitu Devide Et Impera sebagai taktik untuk menghilangkan semangat persatuan.

Bagi saya secara pribadi, tugas pokok kita dalam menjaga keutuhan NKRI adalah bagaimana memperluas perspektif kesadaran persatuan dari menajamkan kesamaan-kesamaan dari sejumlah perbedaan. Yang kita perlukan adalah memperluas gagasan perekatan kepentingan tanpa saling menguasai atas nama suku, agama dan bahasa. Tetapi memperluas pemikiran kebhinekaan, lewat toleranis, demokratisasi dan partisipasi luas dalam seluruh sendi kehidupan.

Persatuan dalam kerangka nusantara adalah menunjung tinggi azas penerimaan sebagai payung perbedaan dengan memberikan kesempatan luas pada seluruh anak negeri, siapapun dia, apapun agamanya, bahasanya, sukunya, latar belakangnya, untuk mengambil bagian dari penyelenggaraan negara, apakah itu berkaitan dengan politik, hukum, pendidikan, pekerjaan dan pengembangan tekhnik.

Hal itu bagi saya harus terus disuarakan hingga ia menjadi sebuah kesadaran pada seluruh rakyat Indonesia. Kesadaran sebagai bangsa yang memiliki tujuan menghilangkan segala bentuk penjajahan diatas muka bumi, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan ikut pula dalam mendorong terciptanya perdamaian dunia atau ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Harkat dan martabat bangsa Indonesia tidak boleh hanya melekat pada kelompok, orang atau individu yang merasa berkuasa. Tetapi harkat dan martabat sebagai bangsa merdeka itu adalah merupakan hak semua warga negara Republik Indonesia. Inilah tantangan pasca kemerdekaan yang harus kita jawab dalam praktik ke Indonesiaan kita. Tidak bisa hanya dengan kata-kata, kita perlu tindakan, perlu keteladanan, perlu kepemimpinan yang mempersatukan keberagaman itu.

Demikianlah, pokok-pokok pikiran saya berkaitan dengan konsepsi Persatuan dan Kenusantaraan. Semoga memberikan manfaat pada pertemuan kita ini. Saya sangat berharap, konsepsi persatuan betul-betul menjadi bagian penting dari alam kesadaran kita, baik itu dalam ranah pandangan dunia maupun dalam praktik hidup kita sehari-hari.

Sekian, saya memohon maaf jika dalam penyampaian terdapat hal-hal yang kurang berkenan. Barangkali dalam setiap kata yang saya ucapkan telah menyinggung perasaan saudara-saudara sekalian. Dan puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala kebenaran yang terucapkan.

*Anggota Komisi III / Banggar DPR RI / Sulawesi Tengah