Oleh Luthfi A. Mutty*
Tahun 2018 akan dilaksanakan pilkada serentak gelombang ketiga di 171 daerah. Ini merupakan rangkaian proses menuju pilkada serentak nasional yang rencananya akan digelar pada tahun 2024. Kita bisa melihat para kandidat di daerah yang akan melakukan pilkada telah sibuk melakukan sosialisasi agar dikenal oleh masyarakat. Partai politik juga telah membuka pendaftaran calon kepala daerah. Dalam hal ini setiap partai politik memiliki cara sendiri bagaimana mengeluarkan surat keputusan untuk mengusung calon yang akan maju ke kontestasi pilkada.
Landasan pelaksanaan pilkada serentak berdasarkan pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. UU tersebut merupakan revisi atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU No. 1 Tahun 2014. Pilkada serentak merupakan reformasi sistem pilkada yang sebelumnya dilaksanakan sesuai dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Pelaksanaan pilkada serentak merupakan usaha untuk mengakhiri ritual politik yang berlangsung sepanjang tahun. Karena setiap dua atau tiga hari sekali ada daerah yang melaksanakan pilkada. Namun yang lebih penting lagi, pilkada serentak diharapkan menjadi solusi atas ongkos demokrasi berbiaya tinggi dari APBN dan APBD.
Hakikat dari proses pilkada merupakan upaya mencari pemimpin, yaitu kepala daerah yang memiliki kemampuan membangun dan memajukan. Bisa memaksimalkan sumber daya daerah demi kesejahteraan. Kepala daerah juga diharuskan mampu membenahi dan menggerakkan birokrasi agar lebih profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Kepala daerah dituntut bisa membaca potensi daerah secara komprehensif, selain itu diperlukan keberanian untuk melakukan inovasi. Sebab menjadi kepala daerah tidak cukup menjadi orang baik, tetapi juga harus mampu melakukan perubahan nyata di tengah masyarakat.
Dalam hal pencalonan kepala daerah, partai politik cenderung mengusung calon yang kemungkinan menangnya lebih besar. Bahwa ada partai politik melakukan fit and proper test sebagai cara untuk mengetahui kemampuan kandidat, itu betul. Namun ada indikator lain yang dipergunakan oleh partai politik. Sebagai mesin elektoral partai biasanya melihat pada tiga faktor. Pertama tingkat elektabilitas yang diukur melalui pendekatan ilmiah survei. Kedua jaringan pendukung selain mesin partai politik. Ketiga kemampuan finansial dibutuhkan untuk membuat program kampanye yang dapat menjangkau pemilih. Tiga faktor di atas merupakan konsekuensi dari demokrasi terbuka yang kita anut.
Biaya Mahal Pilkada
Pilkada serentak gelombang ketiga akan dilakasanakan pada Juni 2018, di 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota. Pelaksanaan ini diperkirakan akan menelan biaya sebesar 11,3 triliun Rupiah. Pilkada serentak gelombang kedua di 101 daerah memakan biaya sebesar Rp 7 triliun. Ini jauh melampaui anggaran pilkada gelombang pertama yang menghabiskan dana sekitar 4,4 triliun Rupiah dengan jumlah pilkada sebanyak 269 daerah.
Menurut KPU, membengkaknya anggaran pilkada serentak gelombang ketiga, karena daerah-daerah yang melaksanakan pilkada serentak padat pemilih dengan wilayah luas. Di antaranya Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua. Apapun alasannya, anggaran pilkada yang terus membengkak patut dipertanyakan. Sebab efisiensi biaya yang menjadi alasan pilkada serentak jelas tidak tercapai.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah sistem penganggarannya. Persoalan pendanaan pilkada serentak sudah muncul sejak persiapan. Ada dua pendanaan yang akan menentukan hasil pilkada dan pemerintahan selanjutnya. Pertama, pendanaan yang disiapkan oleh Negara dalam hal ini berasal dari APBD dan APBN yang dipergunakan oleh KPU dan Bawaslu. Kedua pendanaan kandidat untuk kampanye memenangkan kontestasi pilkada.
Regulasi yang mengatur pendanaan dari negara selalu berubah. Ini terlihat dari UU No. 8 Tahun 2015 menghendaki pendanaannya dibebankan pada APBD dan didukung APBN. Di lain pihak, UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, menetapkan bahwa pendanaan pilkada sepenuhnya dibebankan pada APBD. Namun lewat Perppu No.1 Tahun 2014, biaya pilkada yang sebelumnya ditanggung sepenuhnya oleh APBD diubah menjadi dibebankan pada APBN dan dapat didukung melalui APBD.
Mengacu pada ketentuan dimaksud maka Permendagri No. 37 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2015. Daerah diimbau untuk mengalokasikan anggaran kegiatan pilkada tahun 2015 dengan menempatkannya dalam pos belanja hibah. Masalah yang muncul terkait dengan ketentuan di atas adalah terdapat dua mekanisme penganggaran. Tahap perencanaan anggaran hingga terbitnya SP2D (transfer dana dari kas daerah ke rekening KPUD/Bawaslu Prov/Panwas) menggunakan mekanisme APBD. Sedangkan perencanaan penggunaan dana hibah oleh KPU/Bawaslu Prov/Panwas hingga ke pertanggungjawabannya menggunakan mekanisme APBN. Ketentuan yang sama berlaku juga pada pilkada serentak 2017 yang lalu dan pilkada 2018 yang akan datang.
Khusus untuk penggunaan dana hibah pilkada 2018, terdapat perbedaan antara Permendagri No. 51 Tahun 2016 dengan PKPU No. 80 dan 81 Tahun 2017. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus, karena berpotensi menimbulkan persoalan hukum. Di dalam Permendagri tersebut, pokja perencanaan kegiatan ditentukan paling banyak 10 orang dengan masa kerja paling banyak 3 bulan. Sementara dalam PKPU disebutkan jumlah anggota pokja paling banyak 14 orang dengan masa kerja paling lama 11 bulan.
Selain perubahan dan tumpang tindih regulasi, terdapat juga persoalan komponen pembiayaan yang menyerap anggaran cukup besar yaitu, biaya pengamanan. Anggaran pengamanan dari APBD jelas menyalahi asas dan prinsip pemerintahan, yakni pemda tidak dibenarkan membiayai instansi vertikal. Selain itu, penyediaan anggaran pengamanan telah menempatkan pilkada sebagai extra ordinary activity; sebuah “proyek” yang perlu biaya khusus. Padahal, pilkada dapat dilihat dan ditempatkan sebagai kegiatan rutin, sehingga tidak perlu disediakan dana ekstra untuk pelaksanaannya. Sebab masing-masing kementerian/lembaga telah mandapat anggaran dari Negara.
Sementara itu pendanaan dari kandidat sudah dimulai sebelum masa kampanye. Kita bisa melihat bagaimana setiap kandidat yang ingin maju pilkada telah melakukan sosialisasi jauh-jauh hari. Selanjutnya para kandidat akan menyiapkan biaya untuk “mahar” kepada partai politik agar mendapatkan dukungan. Mahar politik ini menjadi rahasia umum yang sulit dibuktikan tetapi nyata. Soal Mahar politik ini, setahu saya hanya partai NasDem yang dengan tegas dan terbuka melakukan penolakan. Jika kandidat maju menjadi calon independen, maka dibutuhkan dana operasional untuk mengumpulkan KTP sebagai syarat dukungan. Berikutnya para kandidat akan mengeluarkan dana besar pada masa kampanye. Kebutuhan ini untuk menggerakkan sumber daya baik itu partai ataupun jaringan pendukung lainnya.
Kecurangan dan Output
Tantangan besar saat pelaksanaan pilkada adalah kecurangan. Jenis dan Faktor kecurangan hampir sama pada setiap penyelenggaraan pilkada. Misalnya masalah DPT, mark-up atau penggelembungan jumlah pemilih sering terjadi. Hal ini disebabkan lemahnya akurasi data yang dimiliki oleh lembaga atau instasi terkait. Maka itu pertambahan DPT yang tidak normal di suatu daerah patut dicurigai dan menjadi perhatian agar tidak terjadi kecurangan.
Modus kecurangan lain yang juga selalu berulang adalah pemanfaatan formulir C6 yang tidak disebar. Ini menyebabkan munculnya ghost voters dan identitas ganda. Akhir-akhir ini yang sangat meresahkan terjadinya black campaign terhadap kandidat dengan memanfaatkan isu SARA. Mengintimidasi atau melakukan teror terhadap pemilih dengan menggunakan fisik dan psikis. Terakhir adalah politik uang untuk memastikan kemenangan. Semua jenis kecurangan ini bisa merusak tananan sosial dan demokrasi kita yang sedang dalam proses pendewasaan.
Bagi petahana yang kembali maju, pemanfaatan ASN sangat efektif untuk memobilisasi dukungan. Hubungan petahana dan ASN merupakan simbiosis mutualis, sebab hasil pertama dari pilkada adalah balas jasa dan penyusunan komposisi SKPD. Tidak mengherankan jika banyak organisasi perangkat daerah (OPD) dipimpin oleh orang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan lembaga yang dipimpinnya. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang dibentuk untuk mengawasi promosi dan mutasi pejabat bagai macan ompong. Banyak keputusan kepala daerah yang dibatalkan oleh PTUN terkait dengan tindakan dalam penempatan pejabat, walau hanya dianggap angin lalu. Hal ini kemudian berpengaruh buruk terhadap rendahnya indeks kualitas pelayanan publik kita.
Banyak kepala daerah terpilih hanya yang berperan sekadar pelaksana APBD seraya mengintip peluang untuk melakukan korupsi. Tidak heran jika banyak kepala daerah yang terlibat korupsi dan masuk penjara. Selama periode 2003-2016 tercatat 18 gubernur dan 343 bupati/walikota (61% dari 514 kepala daerah) terjaring kasus korupsi. Para kepala daerah yang terpilih dengan biaya besar APBN dan APBD seharusnya hadir sebagai pemberi solusi atas berbagai permasalahan daerah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sebagian besar di antaranya malah menjadi malapetaka buat daerah dan warganya.
*Penulis adalah anggota Komisi II DPR RI Fraksi NasDem