Urgensi Moratorium Haji

Share with:


Oleh Hasan Aminuddin*

Carut-marut pengelolaan haji di Indonesia diakui sudah berlangsung bertahun lamanya. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan negatif tentang pelaksanaan haji yang dikelola Kementerian Agama. Mulai dari masalah pelayanan transportasi, pemondokan, katering, pengelolaan pemberangkatan dan pemulangan hingga pembiayaan dan kuota selalu mencuat setiap mendekati waktu keberangkatan dan setelah pemulangan haji. Demikian kompleksnya persoalan ini seolah menjadi alasan pembenar selalu naiknya ongkos haji dan semakin panjangnya antrian keberangkatan.

Hingga tahun 2015 ini saja, Kementerian Agama dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa jumlah pendaftar haji telah melebihi 2 juta orang.  Jumlah ini sangat kontras dengan kuota yang disediakan Pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia sebesar 168.800 orang. Kementerian Agama melalui KMA No. 32/205, bahkan telah menetapkan kuota sebesar 155.200 orang untuk Haji Reguler, 12.831 Haji Khusus dan 769 kuota petugas Haji khusus.

Dengan perhitungan sederhana, hal ini berarti calon haji yang mendaftar tahun ini rata-rata baru akan berangkat 12 tahun yang akan datang. Angka antrian ini akan bertambah apabila juga dihitung tunggakan pemberangkatan haji tahun-tahun sebelumnya.

 

Perlunya moratorium

Tidak ada yang membantah bahwa ibadah haji hanya wajib dilakukan satu kali untuk seumur hidup, sesuai tuntutan Islam. Masa tunggu yang begitu lama bisa menyebabkan keputusasaan bagi calon  haji, dan ini justru tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Di sisi lain, pengelolaan haji harus dilakukan secara lebih profesional. Saya kira kita semua sepakat dengan pandangan ini agar aspek akuntabiltias, transparan, dan aspek keadilan bisa terpenuhi bagi calon jamaah. Jangan sampai pihak penyelenggara haji seperti pedagang yang masih jual barangnya yang sebenarnya sudah habis. Di titik inilah saya menekankan perlunya Kementerian Agama untuk melakukan moratorium (penangguhan) haji.

Moratorium haji mendesak untuk dilakukan maksudkan agar bisa dilakukan penataan ulang sistem haji di Indonesia dengan perubahan tata kelola secara mendasar. Untuk memulai hal tersebut Kementerian Agama bisa berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, agar dapat memperoleh data valid dari tingkat desa-kelurahan.

Dari tingkat ini nanti bisa diketahui mana calon pendaftar yang sudah dan belum pernah menunaikan ibadah haji. Jika sudah diketahui, Kemenag bisa mulai melakukan moratorium dan pelarangan mulai dari tingkat desa dan kelurahan. Sejauh ini Kementerian Agama sebenarnya sudah memiliki aturan untuk membatasi calon haji. Namun demikian Pasal 14 (2), PMA No. 12/2012 hanya diperuntukan bagi Kuota Nasional.

Moratorium dan pelarangan haji bagi mereka yang sudah pernah haji akan lebih mudah dilaksanakan jika Kementerian Agama memiliki data valid. Data ini dapat diperoleh dengan berkoordinasi antara Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri serta Instansi kependudukan terkait.

Semangat dari moratorium ini adalah memberikan rasa adil dan prioritas bagi yang lebih berhak. Mereka yang belum pernah haji dan lansia harus menjadi prioritas. Jangan sampai mereka harus menunggu belasan tahun untuk bisa berangkat.

Dengan pelaksanaan moratorium dan pelarangan haji bagi mereka yang sudah pernah maka Kementerian Agama telah melaksanakan asas keadilan untuk menentukan calon haji Indonesia. Lewat kebijakan yang demikian, keputusasaan jamaah yang masih menunggu giliran berangkat haji hingga belasan tahun akan terkikis.

Kembalikan biaya pendaftaran

Mengikuti langkah moratorium, Kementerian Agama hendaknya mengambil langkah mengembalikan biaya pendaftaran haji bagi mereka yang dibatalkan keberangkatannya karena kebijakan moratorium ini. pengembalian ini meliputi bagi mereka yang sudah terdaftar maupun yang baru memperoleh antrian.

Tidak hanya itu, ongkos-ongkos haji, kedepannya, juga jangan lagi disimpan di rekening Kementerian Agama. Ia harus disimpan di rekening atas nama pribadi masing- masih calon jamaah. Penyimpanan dana calon haji yang demikian besar dan dalam waktu antrian yang lama seperti selama ini, berpotensi besar menimbulkan permasalahan.

Data  BPIH yang dipublikasikan website Kemenag RI hingga Januari 2015 menunjukkan dana haji sudah berjumlah 71 triliun lebih. Dari dana ini saja, rekening penampung sudah memperoleh dana optimalisasi senilai 345 Juta lebih. Dana tersebut baru untuk masa satu tahun. Ia akan berlipat jika diperhitungkan dengan kemungkinan berangkat haji yang berkisar 15-25 tahun.

Yang perlu diingat, dana haji yang sudah disetorkan oleh calon haji, bukanlah dana yang aktif. Calon haji hanya bisa mengetahui sisa kekurangan pembayaran yang harus dibayarkan untuk berangkat haji setelah memperoleh panggilan pelunasan sesuai kuota yang diperoleh. Ini tidak seperti tabungan yang dapat diketahui saldo dan dapat dimanfaatkan untuk hal lain.

Keberadaan dana haji dengan atas nama pribadi calon, akan lebih banyak memberikan manfaat bagi calon haji. Setidaknya, saat tiba waktunya calon haji untuk berangkat, mereka sudah memiliki dana yang cukup.

Efisiensi Biaya dan Kuota

Selain mengusulkan moratorium, perlu ada langkah-langkah efisiensi yang perlu dilakukan Kemenag dalam pengelolaan haji ini. Langkah efisiensi dimaksudkan sebagai upaya untuk menurunkan ongkos haji yang dari tahun ke tahun istiqomah selalu naik. Memang kita patut bersyukur dengan adanya ongkos penurunan biaya haji tahun ini sebesar USD 502. Namun demikian, kita masih bisa melakukan efisiensi di banyak item.

Misalnya “jatah” lima orang petugas haji yang selama ini berangkat dengan kuota dan dibebaskan biayanya. Demi efisiensi, cukuplah  kiranya dua orang pendamping yang paham manasik, yang dibiayai pemberangkatannya. Selebihnya diambil dari kalangan profesional atas biaya mereka sendiri. Mereka bisa diambil dari yang terdaftar sebagai calon Jemaah haji atau yang dengan sengaja diberikan kuota sebagai tenaga profesional pendamping haji.

Tidak hanya itu, efisiensi juga perlu dilakukan dalam hal waktu pelaksanaan haji. Ibadah Haji wajibnya hanya tiga sampai lima hari. Jika ditambah untuk keperluan ibadah sunnah, maka masing-masing bisa sepuluh hari di Mekah dan Madinah. Dengan demikian waktu keseluruhan paling lama dua puluh hingga dua puluh lima hari. Ini artinya waktu pelaksanaan haji efisien lima belas hari. Efisiensi waktu ini akan mereduksi pembengkakan pembiayaan haji selama ini.

Nilai efisiensi ini akan lebih besar jika pengelola haji berkeputusan membeli pesawat haji sendiri. Tidak perlu khawatir tentang pemanfaatannya di luar musim haji. Pengelola bisa memanfaatkannya dengan menyewakan untuk keperluan umrah dan lainnya.

Penutup

Saya tidak menepis bahwa usulan ini akan membuat guncang sebagian kalangan. Namun, sebagai wakil rakyat dan melakukan jaring aspirasi di daerah pemilihan dan pembicaraan intensif  dengan struktur Partai NasDem dan PWNU Jawa Timur,  saya semakin meyakini bahwa moratorium dan larangan ini bisa menyelesaikan masalah pemberangkatan haji selama ini. Respon positif atas usulan ini pun sudah muncul dari Ketua Dewan Tanfidz PWNU Jawa Timur, Hasan Mutawakkil Alallah.

Dalam hemat penulis, jika Menteri Agama ingin mencatatkan prestasi dalam menyelesaikan masalah haji saat ini, usulan di atas harus dilakukan. Sebab ketimpangan pendaftar dan kuota  haji yang tersedia selama ini tidak akan pernah selesai walaupun menteri berganti berulang kali.

*Anggota Komisi VIII F-Partai NasDem DPR RI