Joni Plate: Perlu Harmonisasi UU Perbankan dengan UU Lainnya

Share with:


Anggota Komisi XI dari Fraksi NasDem Joni G Plate menyetujui adanya harmonisasi antara regulasi undang-undang perbankan dengan regulasi UU lainnya. Pernyataan ini disampaikan pada  Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI dengan para stakeholder  perbankan (IBI, AEI, HKHPM, IAI, APEI, INI, MAPPI, APRDI) terkait masukan dalam penyusunan draft revisi UU tentang perbankan, di Jakarta, Kamis (11/6).

“Revisi undang-undang perbankan disusun bukan untuk kebutuhan pada saat ini, tetapi disusun bersama–sama dalam satu visi ke depan serta bertujuan untuk menekan disparitas kesejahteraan, bukan untuk menambah disparitas itu sendiri, “ tegasnya.

Penyempurnaan ataupun penambahan regulasi didalam penguatan perbankan Indonesia merupakan bahagian dalam suatu proses dan semua itu berpulang kepada komptensi dan integritas didalam pelaksanaanya. Oleh karena itu anggota DPR dari Dapil NTT I mengatakan, pada saat ini banyak operasi perbankan yang paradoks. Kebanyakan hanya mengejar keuntungan corporate serta melupakan tujuan yang dicita–citakan. Terlebih pada perbankan BUMN yang telah diberikan amanat untuk menyalurkan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Menurutnya, dana KUR yang diberikan melalui penjaminan APBN, pengalokasiannya lebih banyak kepada sektor distribusi yang jumlahnhampir mencapai 94 persen. Sementera sektor yang membutuhkan seperti petani, nelayan, peternak, pedagang kecil, dan lainnya, hanya enam persen. “Dan itu hanya di salah satu provinsi,” tegasnya.  

Kesiapan Perbankan Indonesia

Joni juga mengatakan, kita tidak mungkin mundur kembali ke belakang karena perekonomian Indonesia telah terintegrasi dalam perekonomian global. Yang paling dekat adalah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), di mana salah satu butirnya adalah mengintegrasikan ekonomi Asean ke dalam  ekonomi global.

Oleh karena itu, menurutnya, perlu kesiapan perbankan Indonesia, khususnya para banker. Ia mengingatkan tentang siklus krisis global yang semakin singkat waktunya. “Sebelumnya per dekade atau sepuluh tahunan, sekarang mungkin lima tahunan, bahkan lebih cepat,” terangnya.  

Merujuk pada hal tersebut, paling tidak pelaku perbankan sudah dapat melakukan identifikasi dini jika terjadi masalah. Misalnya tentang tindakan apa yang dilakukan serta diperhitungkan juga dampak dari kebijakan yang dibuat. 

Perlu diingat bahwa perbankan adalah industri jasa dan ini terkait dengan kompetensi atau kemampuan perorangan dari sumber daya manusia yang tersedia. Oleh karenanya, Joni sangat setuju dengan adanya sertifikasi dalam meningkatkan komptensi SDM.  

“Hal yang menarik adalah pada saat kita membuka pasar dengan asas resiprokal (kesetaraan) atau perlakuan yang sama di dalam mengikuti perkembangan bisnis perbankan dunia, tetapi tidak ada perbankan nasional yang dapat menggunakan kesempatan resiprokal itu dengan baik. Hal ini perlu menjadi catatan didalam penyusunan revisi UU perbankan, khususnya kesiapan SDM kita didalam menggunakan kesempatan resiprokal,” ujarnya